Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor Pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Apabila suatu perusahaan dinyatakan pailit maka tentu memiliki konsekuensi hukum khususnya terhadap para pekerja, konsekuensi tersebut berupa pembayaran upah kepada para pekerja di perusahaan tersebut yang apabila tidak dibayarkan maka para pekerja memiliki hak yang sama layaknya kreditur dalam proses kepailitan.

Untuk mengetahui kedudukan para pekerja dalam proses kepailitan selaku kreditur perlu memahami penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah memberikan klasifikasi terhadap jenis-jenis Kreditur.yaitu:

  1. Kreditur Preferen

Kreditur Preferen adalah kreditur yang oleh undang-undang, semata-mata karena sifat piutangnya, mendapatkan pelunasan terlebih dahulu. Kreditur preferen merupakan kreditur yang mempuyai hak istimewa, yaitu suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.

  1. Kreditur Separatis

Kreditur Separatis merupakan kreditur yang memegang hak jaminan kebendaan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 138 UU Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan bahwa kreditur yang piutangnya dijamin dengan jaminan kebendaan maka dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki Kreditur Konkuren atas bagian piutang tersebut tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan piutangnya.

Menurut Sutan Remy Sjahdeny dalam bukunya Sejarah, Asas dan Teori Hukum Kepailitan menjelaskan bahwa Kreditur Separatis atau disebut kreditur pemegang hak jaminan harus memperoleh pelunasan piutang (secured creditur) lebih dahulu dibandingkan dengan kreditur preferen yaitu kreditur dengan hak istimewa atau hak untuk didahulukan (preferred creditor), kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 1134 KUH Perdata yang berbunyi :

Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.

  1. Kreditur Konkuren

Kreditur konkuren diatur dalam pasal 1132 KUH Perdata. Kreditor Konkuren adalah para kreditur dengan hak pai Passau dan pro rata, artinya para kreditur secara bersama-sama memperoleh pelunasan (tanpa ada yang didahulukan) yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut. Dengan demikian, para kreditur konkuren mempunyai kedudukan yang sama atas pelunasan utang dari harta debitur tanpa ada yang didahulukan.

Kemudian ketika kita memahami jenis-jenis Kreditur diatas maka selanjutnya kita harus memahami letak golongan kreditur bagi pekerja/buruh yang terputus hubungan kerjanya karena Perusahaan Pailit. Untuk mengetahuinya maka kita perlu mengacu pada UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Kluster Ketenagakerjaan Pasal 95 berbunyi :

  1. “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentua peraturan perundang-undangan , upah dan hak lainnya yang belum diterima merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
  2. Upah Pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur
  3. Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulkan atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”

Mengacu pada kaidah hukum diatas maka kita dapat menyimpulkan posisi Pekerja/buruh yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja karena perusahaan pailit merupakan bagian dari Kreditur Preferen sehingga upah dan hak lainnya seperti pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian harus dibayarkan terlebih dahulu dibanding Kreditur yang lain. Hal ini juga selaras dengan Putusan MK Nomor 67/PU-XI/2013 pada amarnya menyatakan bahwa :

  1. Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4179) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai: ”pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;
  2. Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4179) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai: ”pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis”;

Putusan diatas sekaligus menegaskan posisi pekerja/buruh sebagai kreditur preferen yang harus didahulukan pelunasan piutangnya. Sehingga para pekerja pada perusahaan yang sedang pailit wajib mengetahui salah satu haknya untuk mendapatkan pendahuluan untuk pembayaran pesangon dan hak lainnya ketika perusahaan dalam proses pailit.

 

Definisi dan Tanggung Jawab Maskapai Penerbangan

Menurut Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Pesawat Udara merupakan jenis angkutan udara yang melaksanakan tugas untuk mengangkut penumpang, kargo dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain.

Sedangkan, Maskapai Penerbangan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan didefinisikan sebagai Pengangkut yang berbentuk Badan Usaha Angkatan Udara, Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan Udara Niaga berdasarkan ketentuan Undang-Undang tentang Penerbangan dan/atau badan usaha selain badan usaha angkutan udarra niaga yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, Dalam mengoperasikan pesawat udara tersebut apabila terjadi Kecelakaan Maka Maskapai Penerbangan Memiliki Tanggung Jawab Atas :

a) Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka;

b) Hilang atau rusaknya bagasi kabin;

c) Hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat

d) Hilang, musnah, atau rusaknya kargo

e) Keterlambatan angkutan udara; dan

f) Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga

Besaran Ganti Rugi

  1. Besaran Ganti Rugi terhadap Penumpang yang meninggal Dunia, Cacat Tetap atau luka luka
  1. Besaran Ganti Rugi Terhadap Penumpang akibat rusak atau hilangnya bagasi kabin.

Menurut Pasal 1 Angka 9 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Bagasi Kabin adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan dibawah pengawasan penumpang sendiri.

Bagi penumpang yang ingin mendapatkan ganti kerugian terkait rusak atau hilangnya bagasi kabin harus membuktikannya di Pengadilan. Apabila terbukti bahwa rusak atau musnahnya bagasi kabin tersebut akibat kesalahan pengangkut maka Penumpang akan mendapatkan ganti rugi paling tinggi sebesar barang tersebut.

  1. Besaran Ganti Rugi Terhadap Pnumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi.

Menurut Pasal 1 Angka 8 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Bagasi Tercatat adalah barang penumpang yang disertakan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut di Pesawat Udara yang sama. Rincian Ganti Rugi terhadap bagasi tercatat yakni sebagai berikut :

  1. Besaran Ganti Rugi Terhadap Hilang, Musnah atau Rusaknya Kargo

Menurut Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Kargo adalah setiap barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan tumbuhan. Besaran ganti kerugian terhadap Kargo dirinci sebagai berikut :

  1. Besaran Ganti Rugi Terhadap Keterlambatan Angkutan Udara
  1. Besaran Ganti Rugi terhadap Pihak Ketiga

Pengertian, Tugas, dan Batasan Tugas dari Direksi

Dalam hukum perseroan, istilah yang digunakan dalam pengetahuan umum merupakan Direksi. Adapun pengertian Direksi menurut Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dapat dikuti sebagai berikut:1

Direksi adalah Orang Perseroang yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentetuan anggaran dasar”

Berdasarkan rumusan pasal di atas, maka dapat dipahami bahwa Direksi memiliki beberapa tugas di antaranya adalah melakukan kepengurusan serta melakukan perwakilan bagi perusahaan. Mengingat pengaturan pada Pasal 92 angka (1) – (2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa Direksi bertugas untuk mengurus perusahaan/perseroan, yang antara lain meliputi pengurusan sehari-hari, yang pada pokoknya mengatur sebagai:2

“Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Direksi berwenang mejalankan pengurusan sebagaimana sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar”

Sesungguhnya, tugas seorang Direksi dalam melakukan pengurusan atas suatu perusahaan tidak selalu ditentukan oleh keputusan RUPS,3 namun, sebagai organ Perseroan yang melakukan pengurusan Perseroan, pada dasarnya seorang Direksi memahami dengan jelas kebutuhan pengurusan Perseroan.4 Bila terdapat lebih dari 1 (satu) Direksi, maka pengurusan Perseroan dilakukan secara tanggung renteng, hal demikian yang dikenal dengan tanggung jawab kolegial.5 Selain dari melakukan pengurusan Perseroan, tugas serta tanggung jawab seorang Direksi adalah untuk mewakili Perseroan, yang mana dalam pengoperasionalan

1 Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756, Pasal 1 (5).

2 Ibid., Pasal 92 (1).

3 Ibid., Pasal 92 (5).

4 Bila pembagian wewenang dan tugas ditentukan dalam keputusan RUPS, maka penepatan wewenang dan tugas dilakukan oleh Direksi melalui Keputusan Direksi. Ibid., Penjelasan Pasal 92 (6) UUPT.

5 Ibid., Pasal 97 (4).

ini Direksi menjalankan perseroan sesuai dengan tujuan dan maksud di dirikannya perseroan, kendati demikian berdasarkan pengaturan pada Pasal 98 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dapat dikutip sebagai berikut:6

“Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan

Hal ini dijelaskan apabila Direksi suatu Perseroan terdiri lebih dari 1 (satu) orang, maka salah satu dari para Direksi dapat mewakili Perseroan melalui keputusan RUPS.7 Adapun hal- hal yang membatasi seorang Direksi untuk mewakili Perseoran diatur pada Pasal 99 Undang- Undang No. 40 Tahun 2007, yang berbunyi sebagai berikut:

“Direksi tidak berwenang mewakili perseroan apabila:

  1. Terjadi perkara di pengadilan antara perseroan dengan anggota direksi yang bersangkutan; atau
  2. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan”

Adapun batasan terhadap wewenang dan tugas Direksi di antaranya adalah sebagai berikut:8

  1. Peraturan perundang-undangan;
  2. Maksud dan tujuan dalam anggaran dasar;
  3. Pembatasan-pembatasan dalam anggaran dasar.

Tanggung Jawab Hukum Direksi

Pertanggungjawaban hukum seorang Direksi dapat dipahami melalui pengaturan pada Pasal 97 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dalam hal ini diatur bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseoran.9 Adapun pengurusan Perseoran harus dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.

Bila Perseroan menderita kerugian yang diakibatkan kesalahan dari Direksi, maka Direksi wajib bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian tersebut.10 Mengingat

6 Ibid., Pasal 98.

7 Ibid., Pasal 98 (2).

8 Fred. B. G Tumbuan dikutip oleh Tri Jata Ayu Pramesti, “Risiko Hukum Jabatan Direksi”, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5179f6b041989/risiko-hukum-jabatan-direksi/ diakses pada 21 Januari 2021.

9 Indonesia, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun 2007, TLN No. 4756, Pasal 97 (1) jo. Pasal 92 (1).

10 Ibid., Pasal 97 (3).

tugas yang dilakukan oleh beberapa Direksi dilaksanakan secara tanggung renteng, maka pertanggungjawaban atas kerugian demikian pun dilakukan secara tanggung renteng.11

Pertanggungjawaban hukum Direksi dapat diminta melalui gugatan yang dilayangkan oleh baik Pemegang Saham maupun Dewan Komisaris kepada pengadilan negeri. Gugatan yang diajukan oleh Pemegang Saham harus dilakukan oleh Pemegang Saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara.12 Dewan Komisaris berhak untuk mengajukan gugatan kepada Direksi yang bersalah/lalai sehingga menimbulkan kerugian bagi Perseroan melalui kewenangannya untuk mengawasi pengurusan Perseroan yang dilakukan oleh Direksi.13

Pertanggungjawaban yang dapat diperoleh melalui gugatan dan diajukan kepada pengadilan negeri demikian-lah yang disebut dengan pertanggungjawaban hukum segi perdata. Adapun pertanggungjawaban yang dimaksud adalah untuk memberikan ganti kerugian.14 Dalam wujud pertanggung-jawaban Direksi sesuai dengan ketentuan Pasal 66 UU tentang Perseroan Terbatas, Direksi berkewajiban menyampaikan Laporan tahunan. Laporan tahunan adalah laporan menyeluruh mengenai perkembangan dan pencapaian, serta kinerja dari perusahaan dalam satu tahun berjalan. Laporan tersebut harus mendapatkan persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST). Dengan disetujuinya pertanggung- jawaban laporan tahunan, maka Direksi mendapatkan “acquit et de charge” (pembebasan dan pelunasan; release and discharge). Acquit et de charge diartikan sebagai “to set free, release or discharge from an obligation, duty, liability, burden, or from an accusation of charge” dengan kata lain dapat diartikan sebagai direks dibebaskan dari tanggung jawabnya, tugas atau kewajiban terhadap terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan. Kendati demikian Direksi memiliki konsekuensi berupa tidak dapatnya dituntut sebagai pertanggung jawaban dalam hal terjadinya kerugian yang di derita perseroan. Dengan diterimanya laoran tahunan direksi tersebut, maka dengan sendirinya seluruh tindakannya menjadi bebas dari segala tuntutan hukum yang akan terjadi dikemudian hari. Dalam praktiknya terdapat dua penjelasan sebagai jawabannya, yakni pertama bahwa acquit et de charge itu hanya berlaku terhadap perbuatan- perbuatan hukum direksi yang telah dilaporkan atau tercermin dalam laporan tahunan dan laporan itu telah diterima oleh RUPST. Sebaliknya, perbuatan-perbuatan hukum direksi yang tidak dilaporkan atau tercermin dalam laporan tahunan, maka menjaid tanggung-jawabnya

11 Ibid., Pasal 97 (4).

12 Ibid., Pasal 97 (6).

13 Ibid., Penjelasan Pasal 97 (7).

14 Ibid., asal 104 (2).

pribadi dengan segala akibar hukumnya. Kedua, acquit etde charge itu hanya aanmemberikan pembebasan dan pelunasan yang bersifat perdata, sedangkan perbuatan hukum direksi yang bersifat pidana tidak termasuk dan oleh karena itu tidak dapat diberikan acquit et de charge. Kendati demikian, berarti direksi tetap harus bertanggung-jawab terhadap perbuatan pidana yang telah dilakukan olehnya, baik untuk dan atas nama perseroan, sehingga perseroan tidak dapat dipersalahkan.

Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban bila Ia telah melaksanakan tugas sesuai dengan kewajibannya (yang diatur pada Pasal 92 (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas), demikian menurut Pasal 97 angka (5) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang dapat dikutip sebagai berikut:

“Anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan kerugian apabila dapat membuktikan:

Pertanggungjawaban hukum dalam segi pidana bagi Direksi diatur pada BAB XXVI (tentang perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak) Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (“KUHP”), di antaranya pada Pasal 398 yang mengatur sebagai berikut:

Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia ata perkumpulan koperasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan pengelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan:

  1. Jika Ia turut membantu atau mengizinkan untuk dilakukan perbuatan- perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga seluruh atau sebagia besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan disebabkan oleh karenanya;
  2. Jika Ia, dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan, maskapai atau perkumpulan, turut membantu atau mengizinkan dipinjamnya iuang dengan syarat-syarat yang memberatkan, padahal diketahui bahwa keadaan pailit atau penyelesaiannya tidak dapat dicegah; dan
  3. Jika yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban yang diterangkan dalam Pasal 6 (1) Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Pasal 27 (1) ordinansi tentang maskapai andil Indonesia, atau bahwa buku- buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisan-tulisan yang disimpan menurut pasal tersebut tidak dapat di perlihatkan dalam keadaan tak diubah”

Selain menurut Pasal 398 KUHP, seorang direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 399 KUHP yang mengatur sebagai berikut:

“Seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang penyelesaiannya diperintahkan oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika yang bersangkutan mengurangi secara curang hak-hak pemiutang dari perseroan, maskapai atau perkumpulan untuk:

  1. membikin pengeluaran yang tak ada, maupun tidak membukukan pendapatan atau menarik barang sesuatu dan budel;
  2. telah melijerkan (verureemden) barang sesuatu dengan Cuma-cuma atau jelas di bawah harganya;
  3. dengan sesuatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang di waktu kepailitan atau penyelesaian, ataupun pada saat di mana diketahuinya bahwa kepailitan atau penyelesaian tadi tak dapat dicegah;dan
  4. tidak memenuhi kewajibannya untuk melakukan pencatatan menurut Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Pasal 27 (1) Ordonansi tentang maskapai andil Indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan buku- buku, surat-surat, dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal tersebut”

Kesimpulan

Direksi dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum atau dihukum baik secara pidana maupun perdata bila Ia menyebabkan kerugian bagi Perseroan, yang diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya. Adapun Direksi dapat dikatakan telah bersalah atau lalai bila tidak melaksanakan tugasnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, keputusan RUPS, dan anggaran dasar. Namun, bila Perseroan mengalami kerugian saat Direksi telah melaksanakan tugasnya sesuai dengan batasan-batasan yang berlaku (peraturan perundang- undangan, keputusan RUPS, dan anggaran dasar), maka Ia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Leo Siregar
& Associates

Jl. Wolter Monginsidi No.73 RT.01 / RW.04 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12180

(021) 7215-948 atau 0813 100 111 61

[email protected]

Developed by: BudiHaryono.com