ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMBERIAN REHABILITASI PRESIDEN SEBAGAI INSTRUMEN PREROGATIF: KASUS PT ASDP

ASAS KEPASTIAN HUKUM DALAM PEMBERIAN REHABILITASI PRESIDEN SEBAGAI INSTRUMEN PREROGATIF: KASUS PT ASDP

Keputusan Presiden untuk memberikan rehabilitasi kepada mantan Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), Ira Puspadewi, dan dua mantan direksi lainnya yaitu Muhammad Yusuf Hadi dan Harry Muhammad Adhi Caksono, menjadi salah satu isu hukum paling mencolok dalam ruang publik. Rehabilitasi ini diberikan setelah ketiganya sebelumnya dinyatakan bersalah dalam perkara korupsi terkait kerja sama usaha (KSU) dan akuisisi perusahaan di tubuh ASDP periode 2019–2022.

kasus hukum ASDP

Secara faktual, mereka telah menerima vonis pidana yaitu hukuman 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta (subsider 3 bulan kurungan). Namun melalui hak prerogatifnya, Presiden kemudian menerbitkan surat rehabilitasi, yang sekaligus membebaskan mereka dari pelaksanaan pidana tersebut. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana dasar hukum rehabilitasi presiden? Apa implikasi yuridisnya? Apakah ini preseden positif atau justru problematik dalam penegakan hukum?

DASAR KONTITUSIONAL REHABILITASI: HAK PREROGATIF PRESIDEN

Rehabilitasi merupakan salah satu hak prerogatif Presiden yang berakar pada Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Karena sifatnya prerogatif, keputusan rehabilitasi bersifat administratif-konstitusional, bukan bagian dari proses peradilan biasa. Dalam konteks kasus Ira Puspadewi, rehabilitasi diberikan setelah proses administratif yang melibatkan usulan DPR dan pertimbangan Kementerian Hukum dan lembaga lainnya.

MASALAH KEPASTIAN HUKUM

Meskipun UUD 1945 mengakui rehabilitasi sebagai salah satu kewenangan Presiden, sampai saat ini belum ada undang-undang tersendiri yang secara rinci menetapkan prosedur, kriteria, dan mekanisme pelaksanaan rehabilitasi (khususnya untuk tindak pidana umum seperti korupsi). Upaya pembentukan regulasi, misalnya melalui rancangan undang-undang yang mengatur “Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi (GAAR)”. Dengan absennya regulasi ini menyebabkan interpretasi kewenangan Presiden menjadi sangat luas yaitu tanpa parameter objektif, potensi penyalahgunaan kewenangan karena tidak ada evaluasi yudisial, dan tidakpastian hukum, baik bagi publik maupun aparat penegak hukum.

REHABILITASI DALAM KUHAP YANG BERBEDA DENGAN REHABILITASI PRESIDEN

Di luar kewenangan prerogatif Presiden, konsep rehabilitasi juga dikenal dalam prosedur peradilan umum, khususnya dalam Kitab Undang‑Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 ayat (23) KUHAP mendefinisikan rehabilitasi sebagai hak seseorang untuk dipulihkan harkat, martabat, kemampuan, dan kedudukannya, apabila ia ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa dasar hukum, atau karena kesalahan identitas atau penerapan hukum. Di dalam Pasal 97 KUHAP mengatur bahwa orang yang diputus bebas atau lepas dari tuntutan hukum oleh pengadilan dengan putusan berkekuatan hukum tetap berhak atas rehabilitasi dan putusan pengadilan semestinya mencantumkan pemulihan tersebut. Namun dalam kasus yang divonis bersalah seperti kasus permasalahan Ira Puspadewi ini tidak berlaku, karena rehabilitasi KUHAP secara tradisional ditujukan untuk korban kesalahan prosedural/pidana, bukan untuk terpidana yang telah dijatuhi hukuman. Tentu berbeda dengan Rehabilitasi Presiden yang tidak berbasis putusan pengadilan, tidak meninjau ulang proses pembuktian, dan tidak menghapus status terpidana, tetapi menghapus pelaksanaan pidana dan dampak administratif tertentu.

LEGITIMASI REHABILITASI DAN IMPLIKASI HUKUM TERHADAP TERPIDANA KORUPSI

Tentu terdapat beberapa isu hukum yang muncul dalam konteks rehabilitasi yang diberikan, karena belum ada UU operasional tentang rehabilitasi (sebagaimana untuk grasi, amnesti, abolisi), keputusan Presiden sangat bergantung pada interpretasi konstitusional dan kebijakan administratif  yang berarti cukup luas ruang untuk tafsir. Beberapa pakar mempertanyakan apakah rehabilitasi Presiden dalam kasus seperti ini sesuai semangat UUD 1945, karena pada praktiknya tidak ada pedoman baku mengenai kapan dan dalam kondisi apa rehabilitasi diberikan. Apakah itu otomatis menghapus dampak hukum, reputasi, atau sekadar membebaskan hukuman fisik. tentu ada kekhawatiran bahwa pemberian rehabilitasi terhadap mantan terpidana, terutama kasus korupsi besar, bisa memunculkan preseden negatif, yaitu potensi penyalahgunaan kekuasaan prerogatif, dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Namun di satu sisi, menguatkan argumen bahwa rehabilitasi dapat mencerminkan “keadilan substantif”, yaitu membedakan antara kesalahan administratif/manajerial dalam pengambilan keputusan bisnis dan kejahatan pidana, jika akuisisi/mekanisme bisnis dianggap kompleks, maka kriminalisasi bisa dianggap berlebihan.

Dalam kasus ini Rehabilitasi Presiden tidak menghapus putusan pidana. Dengan demikian status hukum sebagai “terpidana” tetap ada, rekam jejak tindak pidana tetap tercatat, namun pelaksanaan pidana tidak lagi wajib dilakukan, dan hak-hak administratif tertentu dapat dipulihkan, bergantung pada isi surat rehabilitasi.

Rehabilitasi terhadap mantan direktur PT ASDP Ira Puspadewi berjalan dalam kerangka sah menurut kewenangan Presiden berdasarkan Pasal 14 UUD 1945, tetapi rawan masalah kepastian hukum, karena tidak ada aturan pelaksana. Berpotensi menjadi preseden yang perlu dievaluasi, terutama dalam konteks tindak pidana korupsi BUMN. Menunjukkan urgensi reformasi hukum, agar pemberian rehabilitasi di masa mendatang tidak lagi berada dalam ranah abu-abu. Rehabilitasi sebagai instrumen hukum harus diatur secara lebih presisi agar tetap menghormati putusan pengadilan, menjunjung akuntabilitas publik, dan tidak mereduksi komitmen negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Athor
Leo Siregar merupakan pendiri kantor hukum “LEO Siregar & Associates”. Lebih dari 15 tahun menjalani profesi sebagai pengacara pada perusahaan-perusahaan besar maupun kepada individu di Indonesia.

Leo Siregar
& Associates

Jl. Wolter Monginsidi No.73 RT.01 / RW.04 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12180

(021) 7215-948 atau 0813 100 111 61

[email protected]

Developed by: BudiHaryono.com