Konsekuensi Hukum Ketika Pasangan Membelikan Selingkuhan Properti

Konsekuensi Hukum Ketika Pasangan Membelikan Selingkuhan Properti

Konsekuensi Hukum Ketika Pasangan Membelikan Selingkuhan Properti - Beberapa waktu lalu salah satu perusahaan dunia hiburan tanah air menayangkan suatu sinetron tentang perselingkuhan dengan judul “Layangan Putus”, dimana terdapat pasangan suami isteri yakni Aris dan Kinan yang telah cukup lama menikah namun terdapat orang ketiga dalam pernikahan mereka yakni Lydia.

Isu yang diangkat dalam sinetron tersebut merupakan hal yang seringkali terjadi dalam dunia pernikahan, namun yang menjadi permasalahan adalah ketika Aris sang suami membelikan selingkuhannya yakni Lydia properti berupa apartemen senilai 5 Miliyar rupiah.

Sebenarnya bagaimana konsekuensi hukum ketika pasangan membelikan pihak lain properti?

Sebelumnya perlu diingat bahwa terkait perkawinan di Indonesia diatur melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), dalam UU Perkawinan terdapat pembagian harta yang dibagi menjadi harta bawaan, harta benda berupa warisan atau hadiah, dan harta bersama.

Harta bawaan dan harta benda warisan atau hadiah sejatinya dikuasai oleh para pihak baik suami dan isteri secara sendiri-sendiri kecuali keduanya memiliki kesepakatan sendiri, sedangkan harta bersama adalah harta yang dikumpulkan selama masa pernikahan dan untuk melakukan suatu tindakan terhadap harta bersama tersebut dibutuhkan persetujuan dari pasangannya.

Pembelian properti oleh suami kepada pihak lain atau yang dikenal dengan hibah, merupakan suatu tindakan hukum perdata dan dibutuhkan adanya persetujuan isteri selaku pasangannya. Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan “Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”, selanjutnya apabila mengutip Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 2691 K/Pdt/1996 yang menyatakan bahwa “Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau istri harus mendapat persetujuan suami istri, sehingga perjanjian lisan menjual tanah bersama yang dilakukan suami dan belum disetujui istri adalah perjanjian yang tidak sah menurut hukum.”

Proses hibah yang dilakukan pasangan untuk terhadap suatu properti harus dituangkan melalui suatu perjanjian, untuk itu perjanjian tersebut haruslah mengacu pada ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang telah menyebutkan bahwa syarat sah dari suatu perjanjian yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perjanjian, mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Atas ketentuan tersebut, pasangan suami isteri dapat dikatakan cakap untuk membuat suatu perjanjian ketika dalam melakukan tindakan hukum mendapatkan persetujuan dari pasangannya, apabila tidak mendapatkan persetujuan dari pasangan maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Dalam proses jual beli properti, tentunya notaris selaku pihak yang memiliki kewenangan untuk membuat suatu akta otentik akan memastikan apakah para pihak khususnya pembeli telah menikah atau belum, status dari pembeli akan dicantumkan dalam akta jual beli yang akan diterbitkan, hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa apabila pihak pembeli statusnya adalah menikah maka untuk melakukan pembelian tersebut haruslah mendapatkan persetujuan dari pasangannya agar tidak melanggar ketentuan dalam hukum perkawinan. Bagaimana apabila pasangan mengaku belum menikah untuk membeli properti tersebut? Untuk itu apabila hal tersebut terjadi, maka pasangan yang menyatakan suatu hal bohong dapat dijerat pidana dikarenakan pemalsuan surat sesuai Pasal 263 ayat (1) KUHP.

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa dalam hal pasangan ingin membeli suatu properti kepada pihak lain maka diperlukan persetujuan pasangannya, apabila tidakan tersebut dilakukan tanpa persetujuan pasangan maka perjanjian jual beli atau hibah tersebut menjadi batal demi hukum yang artinya seluruh tindakan dianggap tidak pernah terjadi.

Apabila anda membutuhkan pendapat-pendapat hukum yang lebih spesifik atas permasalahan hukum, anda dapat mengkonsultasikannya dengan kami.

Athor
Leo Siregar merupakan pendiri kantor hukum “LEO Siregar & Associates”. Lebih dari 15 tahun menjalani profesi sebagai pengacara pada perusahaan-perusahaan besar maupun kepada individu di Indonesia.

Leo Siregar
& Associates

Jl. Wolter Monginsidi No.73 RT.01 / RW.04 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12180

(021) 7215-948 atau 0813 100 111 61

[email protected]

Developed by: BudiHaryono.com