
Dalam setiap transaksi pembelian barang maupun jasa, konsumen umumnya dihadapkan pada perjanjian baku yang telah ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha. Perjanjian atau klausula baku tersebut biasanya tercantum dalam formulir kontrak, tiket, nota pembelian, perjanjian layanan, maupun dokumen resmi lainnya, dan konsumen pada prinsipnya harus menerimanya tanpa kesempatan untuk bernegosiasi atau mengubah isi ketentuannya.
Meskipun dimaksudkan untuk efisiensi dan kepastian hukum, pada praktiknya banyak klausula baku yang berpotensi merugikan konsumen, karena mengandung ketentuan yang tidak seimbang, meniadakan hak konsumen, atau membatasi tanggung jawab pelaku usaha.
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang dimaksud dengan klausula baku adalah “setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat serta wajib dipenuhi oleh konsumen.”
klausula baku merupakan ketentuan yang disusun dan ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, tanpa memberikan kesempatan bagi konsumen untuk menyampaikan keberatan, melakukan perubahan, atau menegosiasikan substansi perjanjian tersebut. Dalam posisi demikian, konsumen berada pada situasi ketidakseimbangan kedudukan hukum (inequality of bargaining power), karena tidak memiliki alternatif selain menerima isi perjanjian apa adanya apabila ingin memperoleh barang atau jasa yang ditawarkan.
Oleh sebab itu, peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, menetapkan pembatasan yang ketat dan tegas terhadap penggunaan klausula baku tersebut, guna memastikan bahwa ketentuan yang dicantumkan tidak bersifat sewenang-wenang, tidak menghilangkan atau membatasi hak-hak konsumen, serta tidak menimbulkan kerugian yang tidak adil bagi pihak yang berkedudukan lebih lemah dalam hubungan kontraktual. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya keadilan kontraktual, keseimbangan hak dan kewajiban para pihak, serta perlindungan efektif terhadap konsumen dalam setiap transaksi.
Kententuan mengenai larangan klausula baku diatur secara tegas dalam Pasal 18 UUPK. Pasal ini melarang pelaku usaha mencantumkan klausula yang berpotensi menghilangkan hak konsumen atau melepaskan tanggung jawab pelaku usaha.
Beberapa bentuk klausula baku yang dilarang dan dianggap merugikan konsumen, antara lain:
Contohnya, pernyataan “Segala kerusakan bukan tanggung jawab penjual” atau “Developer tidak bertanggung jawab atas perubahan spesifikasi produk.”
Misalnya, kalimat “Konsumen tidak berhak menuntut atas kekurangan produk setelah transaksi dilakukan.”
Seperti, “Pihak pertama berhak mengubah harga, spesifikasi, atau jadwal penyerahan tanpa persetujuan pihak kedua.”
Misalnya, “Konsumen wajib mematuhi semua ketentuan tambahan yang akan ditetapkan kemudian oleh pelaku usaha.”
Selain memuat larangan-larangan tertentu, Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) juga menegaskan kewajiban bagi pelaku usaha untuk mencantumkan setiap klausula baku secara jelas, mudah dibaca, dan mudah dipahami oleh konsumen. Ketentuan tersebut mengharuskan pelaku usaha menempatkan klausula baku pada posisi yang nyata dan terbuka, sehingga tidak menimbulkan multitafsir ataupun menyesatkan pihak konsumen dalam memahami isi perjanjian. Dengan demikian, pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku dengan cara yang tersembunyi, samar-samar, atau sulit diakses, termasuk namun tidak terbatas pada penggunaan ukuran huruf yang sangat kecil, warna tulisan yang tidak kontras, atau penempatan klausula pada bagian dokumen yang tidak lazim atau sulit ditemukan oleh konsumen.
Apabila pelaku usaha tetap mencantumkan klausula baku dengan cara yang melanggar ketentuan tersebut, maka berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUPK, setiap klausula baku yang dilarang tersebut dinyatakan batal demi hukum. Artinya, sekalipun konsumen telah menandatangani dokumen atau perjanjian yang memuat klausula tersebut, secara hukum klausula yang merugikan konsumen dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki akibat hukum yang mengikat. Dengan ketentuan ini, undang-undang memberikan perlindungan tegas kepada konsumen dari praktik pemberlakuan perjanjian sepihak yang berpotensi merugikan hak-haknya.
Apabila konsumen merasa dirugikan akibat dicantumkannya klausula baku yang bersifat tidak adil, tidak seimbang, atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka terdapat sejumlah upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperoleh perlindungan dan pemulihan hak-haknya. Pertama, konsumen dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) guna meminta penyelesaian sengketa melalui mekanisme mediasi, konsiliasi, ataupun arbitrase sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Kedua, konsumen berhak melaporkan dugaan pelanggaran tersebut kepada instansi pemerintah yang berwenang di bidang pengawasan perlindungan konsumen, seperti Kementerian Perdagangan, atau dalam konteks sengketa terkait sektor properti, perumahan, dan hunian berstrata, kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) untuk dilakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penindakan sesuai kewenangannya.
Selain upaya administratif tersebut, konsumen juga diberikan hak untuk menempuh jalur litigasi melalui pengajuan gugatan perdata di pengadilan, baik dengan dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) maupun wanprestasi (cidera janji) apabila pelaku usaha dinilai telah melanggar ketentuan perjanjian ataupun ketentuan hukum yang berlaku. Melalui mekanisme-mekanisme ini, konsumen dapat meminta agar klausula baku yang merugikan dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat, menuntut pemulihan hak-haknya sebagaimana mestinya, serta memperoleh ganti kerugian atas segala bentuk kerugian materiil maupun immateriil yang timbul akibat tindakan pelaku usaha. Dengan demikian, kerangka perlindungan hukum ini secara tegas memberikan jaminan bahwa kepentingan konsumen tetap terlindungi dari praktik perjanjian yang tidak seimbang dan merugikan.
Jl. Wolter Monginsidi No.73 RT.01 / RW.04 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12180
(021) 7215-948 atau 0813 100 111 61