Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)

Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) telah menjadi hal lazim dilakukan dalam dunia properti. Namun sedikit orang tahu bahwa dasar hukum PPJB sejatinya mulai hadir dalam konteks hukum nasional sejak terbitnya Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995. PPJB memanglah dapat dianggap satu jaminan hukum pada saat membeli tanah/rumah/unit apartemen. Secara garis besar, PPJB harus berisikan 10 faktor penting, yaitu:

  • Pihak yang melakukan kesepakatan;
  • Kewajiban bagi penjual;
  • Uraian obyek pengikatan jual beli;
  • Jaminan penjual;
  • Waktu serah terima bangunan;
  • Pemeliharaan bangunan;
  • Penggunaan bangunan;
  • Pengalihan hak;
  • Pembatalan pengikatan;
  • Penyelesaian Perselisihan.

Akan tetap, penting untuk diketahu calon pembeli properti bahwa PPJB hanyalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Biasanya PPJB akan dibuat pengembang/developer karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT, misalnya bangunan yang dijanjikan pengembang/developer belum jadi sepenuhnya atau dalam jual beli tanah masih belum lunas pembayarannya. Dengan demikian, PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.

Sedangkan untuk AJB sendiri, penandatanganan AJB atas tanah dan bangunan rumah harus ditandatangani oleh penjual dan pembeli di hadapan PPAT, dalam hal telah dipenuhi aspek-aspek sebagai berikut:

a) Bangunan rumah telah selesai dibangun dan siap dihuni;
b) Pembeli telah membayar lunas seluruh harga tanah dan bangunan rumah, beserta pajak dan biaya-biaya lainnya yang terkait dengan itu; dan
c) Proses permohonan Hak Guna Bangunan atas tanah sudah selesai diproses, dan sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama penjual.
Oleh karena itu, kepastian kapan waktunya untuk AJB harus sudah ditekankan manakala PPJB hendak ditandatangani calon pembeli/pembeli sehingga tidak menciptakan masalah dikemudian hari.

Kegiatan Pertambangan di Tanah Air

Kegiatan pertambangan di tanah air diatur dalam Undang-Undang No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau umumnya dikenal dengan akronim UU Minerba. Apabila tertarik sebagai pengusaha yang hendak membuka tambang, maka mula-mula yang harus diurus terlebih dahulu adalah legalitas atau izin usaha untuk perusahaan Pertambangan yakni Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Kementerian ESDM atau pejabat lain. SKT menjadi prasyarat bagi setiap Perusahaan Pertambangan untuk dapat melakukan kegiatan usahanya. Setelah SKT kemudian harus mengurus IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).
Namun demikian, sejatinya ada 3 (tiga) jenis izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota) terkait pertambangan, yaitu :

1) Izin Usaha Pertambangan (IUP)
- Diberikan kepada Badan Usaha, Koperasi dan Perseroan melalui cara pelelangan.
- Diberikan dua tahap izin IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi.
- Diberikan hanya untuk satu jenis mineral atau batubara.
- Diberikan oleh Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.
2) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
- Diberikan oleh Menteri.
- Diberikan pada Wilayah pencadangan negara.
- Diberikan kepada Badan Usaha yang berbadan hukum Indonesia, BUMN, BUMD dan Badan Usaha Swasta.
- BUMN dan BUMD “have the firt refusal”.
3) Izin Pertambangan Rakyat
- Diberikan oleh Bupati/Walikota.
- Diberikan untuk perseorangan, kelompok masyarakat dan koperasi.
Sedangkan perolehan IUP sendiri secara mendasar berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 terdiri dari 2 (dua) tahapan yaitu :
1) IUP Eksplorasi;
2) IUP Operasi Produksi.

Kedua tahapan tersebut diatas diberikan kepada setiap pelaku usaha, yaitu : Badan Usaha, Badan Usaha Milik Daerah/Badan Usaha Milik Negara, Koperasi dan Perseorangan serta proses kegiatan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Izin usaha pertambangan (IUP) dapat diberikan oleh Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya. Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambanan Khusus (IUPK) dapat diperoleh melalui permohonan dan melalui mekanisme lelang, kecuali Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR) dapat diperoleh melalui permohonan.
Selain segi perizinan yang wajib diperoleh dari Pemerintah seperti uraian diatas, juga merupakan kewajiban pengusaha apabila tertarik pada usaha tambang dalam perspektif lingkungan hidup yakni tiga perizinan lain:

1. Usaha atau kegiatan Wajib AMDAL;
2. Usaha atau kegiatan Wajib UKL UPL;
3. Usaha atau kegiatan Wajib SPPL.

Sesuai ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menyebutkan bahwa "Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan".

Dengan demikian usaha atau kegiatan yang wajib memiliki izin lingkungan adalah:
1. Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau
2. Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL

Jadi untuk kegiatan pertambangan di tanah air, apabila tertarik membuka usaha pertambangan, Surat Keterangan Terdaftar (SKT), IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus), dan Izin AMDAL wajib dilaksanakan terbitnya agar manakala usaha dijalankan sah berdasarkan aturan hukum.

Athor
Leo Siregar merupakan pendiri kantor hukum “LEO Siregar & Associates”. Lebih dari 15 tahun menjalani profesi sebagai pengacara pada perusahaan-perusahaan besar maupun kepada individu di Indonesia.

Leo Siregar
& Associates

Jl. Wolter Monginsidi No.73 RT.01 / RW.04 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, 12180

(021) 7215-948 atau 0813 100 111 61

[email protected]

Developed by: BudiHaryono.com